Divestasi bahan bakar fosil

Divestasi bahan bakar fosil merupakan suatu kampanye percepatan pengurangan emisi gas dengan menekan aktivitas investasi pada bahan bakar fosil atas berbagai alasan.[1] Gerakan ini merupakan salah satu gerakan divestasi dengan dampak terbesar yang pernah dilakukan. Divestasi sendiri merupakan salah satu bentuk strategi efisiensi dengan mengeliminasi bagian dari suatu perusahaan.[2] Divestasi bahan bakar fosil lahir dari kekhawatiran terhadap penilaian terlalu tinggi kepada bahan bakar fosil dan hubungannya dengan yang dapat memberi pengaruh buruk pada perekonomian dan iklim. Kampanye ini dimulai oleh komunitas 350.org yang beranggotakan mahasiswa dari beberapa universitas di Amerika Serikat pada tahun 2012.[3] Kampanye ini terus dilakukan hingga tahun 2018 mampu mengajak lebih dari 1000 institusi dalam kampanye tersebut.[4]

Latar Belakang

sunting

Kenaikan suhu 1,5 °C

sunting

Berdasarkan Persetujuan Paris, untuk menurunkan emisi gas dan memperlambat perubahan iklim, pencegahan kenaikan suhu global hingga 2 °C dari masa pra-industri dan pembatasan kenaikan suhu global hingga 1,5 °C dari masa pra-industri hingga tahun 2100 merupakan suatu sasaran global yang harus dicapai.[5] Besar temperatur tersebut bervariasi menurut datum yang digunakan. IPCC menggunakan tahun 1850-1990 sebagai tahun pembanding.[6] Untuk dapat menentukan suhu di suatu masa tertentu, dilakukan kombinasi dari hasil pengukuran suhu udara permukaan dan suhu permukaan laut. Besar pemanasan yang terjadi di darat cenderung lebih tinggi dibandingkan yang ada di laut. Untuk menghasilkan angka suhu, dilakukan perhitungan total warming dan human-induced warming. Total warming merupakan besar perubahan suhu, sementara human-induced warming adalah suhu yang dihasilkan oleh aktivitas manusia semata. Perhitungan yang dilakukan terhadap kedua jenis perubahan suhu sejak masa pra-industri menunjukkan selisih yang kecil. Hal ini dapat diartikan bahwa dari kenaikan suhu yang terjadi, aktivitas manusia memberikan dampak yang signifikan bila dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh alam. Penggunaan angka 1,5 °C tidak bisa disamaratakan untuk setiap musim dan setiap lokasi yang ada di bumi. Besar nilai 1,5 °C merupakan nilai global dan bisa jadi berbeda ketika digunakan untuk menentukan batasan berdasarkan lokasi dan musim tertentu. IPCC menyatakan bahwa di daratan batasan suhu biasanya lebih tinggi dari 1,5 °C, sementara di permukaan laut lebih rendah. Pemanasan yang terjadi di belahan bumi utara yang lebih tinggi dibandingkan belahan bumi selatan juga akan menentukan besar batas kenaikan suhu lokal yang tentu berbeda dengan belahan bumi selatan.

Menurut IPCC, kenaikan 1,5 °C setiap tahun memberikan dampak yang signifikan. Beberapa dampak yang dihasilkan antara lain: bergesernya musim hujan, naiknya permukaan laut, hingga peningkatan durasi gelombang panas.[6][7] Dampak-dampak ini kemudian akan menghasilkan efek domino yang berimbas kepada produktivitas dan bidang-bidang lain, seperti: penurunan hasil panen, penggelantangan terumbu karang, hingga penurunan hari efektif kerja. Keseluruhan dampak ini akan berefek besar pada kehidupan manusia dan ekosistem.[6]

Kenaikan suhu dan bahan bakar fosil

sunting

Kenaikan suhu, baik secara global maupun secara lokal disebabkan oleh penumpukan gas rumah kaca, antara lain: gas karbon dioksida, metana, nitrogen oksida, dan lain-lain. Gas rumah kaca pada atmosfer menahan panas yang terpantul agar tetap tertahan di bumi. Semakin tinggi jumlah gas rumah kaca, semakin banyak panas yang tertahan di bumi. Akibatnya terjadi penghangatan di bumi yang menghasilkan dampak yang lingkungan.[8] Kenaikan gas rumah kaca yang paling signifikan terbaca adalah gas karbon dioksida.[6][9] Gas ini mengalami penambahan jumlah akibat peningkatan aktivitas manusia yang secara langsung maupun tidak langsung menggunakan Bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil yang digunakan menghasilkan gas karbon dioksida yang juga adalah gas rumah kaca.

Terdapat tiga jenis bahan bakar fosil, antara lain: minyak bumi, gas alam, dan batubara. Ketiganya terbentuk akibat adanya penumpukan organisme mati yang berumur jutaan tahun. Pembentukan yang memakan waktu sangat lama membuat ketiga bahan bakar di atas termasuk ke dalam energi yang tidak dapat diperbaharui. Minyak bumi merupakan bahan bakar fosil dengan penggunaan terbanyak. Bahan bakar ini menyumbang sepertiga dari total emisi global.[8] Gas alam menyumbang seperlima dari emisi global dan menjadi bahan bakar paling ramah jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya.[8] Sementara itu, batubara menjadi bahan bakar fosil yang tidak kalah banyak menyumbang emisi dengan besar 44% dari total emisi global.[8]

Gerakan Divestasi

sunting

Akibat dampak besar yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, muncul gerakan-gerakan yang mendukung pengurangan penggunaan bahan bakar fosil, salah satunya divestasi bahan bakar fosil. Gerakan ini dimulai oleh sekelompok mahasiswa yang berkumpul dalam komunitas 350.org. Pada tahun 2009, dilakukan aksi pada International Day of Climate Action,[3] yang kemudian memantik gerakan-gerakan lain di berbagai tempat di seluruh dunia. Tahun 2010 komunitas ini kembali melakukan aksi pada Global Work Party 2010. Pada tahun 2011 muncul gerakan lain di Universitas Nasional Australia dengan nama 'ANU Gets Fracked' yang digagas oleh Fossil Free ANU. Gerakan ini mendesak universitas untuk melakukan divestasi pada perusahaan gas alam, Metgasco.[10] Pada tahun yang sama, desakan terhadap Swarthmore College, Amerika Serikat oleh mahasiswanya menghasilkan divestasi terhadap 16 perusahaan batubara di Amerika Serikat, begitu juga dengan Hampshire College yang menjadi universitas pertama di Afrika Selatan yang melakukan divestasi bahan bakar fosil.[11] Gerakan ini semakin berkembang pada tahun 2012 dengan peningkatan dukungan di berbagai belahan dunia, seperti aksi Go Fossil Free: Divest From Fossil Fuels" oleh 350.org, pembentukan organisasi Divest Harvard di Universitas Harvard,[12] dan munculnya artikel yang mendukung divestasi bahan bakar fosil oleh Majalah Rolling Stone.[13] Selain itu, pada tahun yang sama Seattle mendeklarasikan dukungannya dan menjadi kota pertama yang mendukung gerakan ini.[11] Pada tahun 2013, lebih banyak kota menunjukkan dukungan terhadap divestasi, seperti Berkeley, California, dan Colorado. Rhode Island menjadi negara bagian pertama yang menunjukkan dukungan ini. Pada tahun ini Divest Harvard melakukan protes dan diskusi[14] setelah universitas menyatakan menolak divestasi.[15] Terhitung pada akhir tahun ini, terkumpul 181 institusi dengan total divestasi sebesar 50 juta Dollar Amerika. Tahun 2014 pergerakan di tingkat universitas bertambah aktif. Fossil Free Standford memulai kampanye yang menghasilkan divestasi bahan bakar fosil oleh Universitas Standford. Selain itu Fossil Free ANU dan Divest Harvard masih dengan aktif mendorong universitas mereka untuk melakukan divestasi dengan melakukan referendum, protes, hingga puasa. Fossil Free MIT melakukan dialog intra-kampus untuk mendorong dilakukannya divestasi. Selain universitas, semakin banyak institusi yang ikut ambil bagian dalam gerakan divestasi ini, antara lain British Medical Association yang menjadi asosiasi medis pertama yang mendukung divestasi bahan bakar fosil, serta Church of Sweden.[11]

Reaksi Terhadap Divestasi

sunting

Munculnya komunitas dan meningkatnya dukungan terhadap divestasi menghasilkan reaksi dari beberapa pihak. World Coal Association menyatakan bahwa dengan mendukung gerakan ini, investasi terhadap teknologi batubara yang lebih bersih dapat terancam. Sporton menyatakan bahwa divestasi bahan bakar fosil, khususnya pada batubara akan mempersulit 1.3 miliar penduduk dunia dalam mengakses listrik.[16] Bill Gates sendiri menyatakan bahwa gerakan ini bukan cara paling efektif untuk melawan perubahan iklim.

Referensi

sunting
  1. ^ Howard, Emma (2015-06-23). "A beginner's guide to fossil fuel divestment". The Guardian (dalam bahasa Inggris). ISSN 0261-3077. Diakses tanggal 2019-12-18. 
  2. ^ Ganti, Akhilesh. "Divestment Definition". Investopedia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-12-18. 
  3. ^ a b "350 Campaign Update: Divestment". 350.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-12-18. 
  4. ^ "Landmark fossil fuel divestment reached!". 350.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-12-18. 
  5. ^ "The Paris Agreement | UNFCCC". unfccc.int. Diakses tanggal 2019-12-26. 
  6. ^ a b c d "Chapter 1 — Global Warming of 1.5 °C". Diakses tanggal 2019-12-26. 
  7. ^ Pierre-Louis, Kendra (2019-07-18). "Heat Waves in the Age of Climate Change: Longer, More Frequent and More Dangerous". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diakses tanggal 2019-12-26. 
  8. ^ a b c d "Fossil fuels, explained". Environment (dalam bahasa Inggris). 2019-04-02. Diakses tanggal 2020-01-13. 
  9. ^ "Global Warming FAQ | Union of Concerned Scientists". www.ucsusa.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-13. 
  10. ^ "A fossil free ANU?". ANU Reporter (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-01-14. Diakses tanggal 2020-01-14. 
  11. ^ a b c "Timeline: Fossil Fuels Divestment | Magazine | The Harvard Crimson". www.thecrimson.com. Diakses tanggal 2020-01-14. 
  12. ^ "About us". Divest Harvard (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-14. 
  13. ^ McKibben, Bill; McKibben, Bill (2012-07-19). "Global Warming's Terrifying New Math". Rolling Stone (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-14. 
  14. ^ "Forum Debates University Divestment | News | The Harvard Crimson". www.thecrimson.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-14. 
  15. ^ "Fossil Fuel Divestment Statement". Harvard University (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-14. 
  16. ^ Carrington, Damian (2015-03-15). "Climate change: UN backs fossil fuel divestment campaign". The Guardian (dalam bahasa Inggris). ISSN 0261-3077. Diakses tanggal 2020-01-14.